Berisikbanget kambing tetangga sebelah. Berteriak mengembik keras-keras. Asal buka
mulut seperti menyanyi tanpa nada. Telingaku lama-lama nggak kuat mendengarnya.
Jangan-jangan ada penjahat yang mencederai tubuhnya atau diterlantarkan
majikannya. Daripada penasaran, lebih baik aku tengok, mungkin sedang pesta
narkoba atau rebutan kue tart atau rebutan pacar atau rebutan jumlah jam kerja.
Sesampai
di kandang, kulihat sepintas tidak ada masalah. Semua terdiam melihatku dengan
rasa keheranan. Kupalingkan mataku kearah pintu rumah majikan, kelihatan
majikannya sedang tidak berada di rumah walau pintunya terbuka. Kalau
kambing-kambing itu kuajak pergi, pasti aku diteriaki maling. Ku tinggalkan
saja kambing tersebut, eh…gaduh lagi.
Sejenakaku merenung, sejurus kemudian munculah ide cerdasku, maklum saja ya,
kecerdasan bukan hanya diukur dengan kemampuan menyelesaikan soal-soal
berhitung atau mampu memecahkan masalah dengan rumus-rumus yang rumit, tetapi
bagaimana kita bisa memberikan solusi walaupun itu hanyalah seekor kambing
sebagai obyek. Apa yang harus kita lakukan, tentunya kucarikan rumput sebagai
solusinya. Tak lebih dari tiga puluh menit, kudapatkan yang diingikan kambing.
Dengan lahapnya, kambing tersebut tidak pesta narkoba atau rebutan jumlah jam
kerja, tetapi ngeriyung rumput.
“Rampungkah
masalahnya?”, guman Caciem.
Ada masalah yang lebih esensial belum
terpecahkan. Tapi bukan aku kalau tidak bisa memcahkan masalah. Sambil main
gitar dengan menyanyikan lagu “Sampah Estib” tiba-tiba kembali muncul ide
cerdasku. Ada
keributan, ada kegaduhan, ada teriakan, ada suara kaca pecah, ada suara
tangisan, ada suara cacian, ada suara umpatan, itu semua karena majikan
terlambat menunaikan tugasnya.
Mestinya
bel berbunyi semua beraksi melaksanakan tugasnya masing-masing, tetapi ada
oknum guru yang datang terlambat dengan berbagai alasan. Lima
menit, sepuluh menit, lima
belas menit merupakan waktu yang sakral dalam memulai suatu pekerjaan.
“Suara-suara
tanpa nada itu sangat mengganggu dan merusak lingkungan”, ujar Bento.
Bukanoknum guru kalau mau disalahkan. Sudah datang terlambat, marah-marah, matanya
melotot, membanting buku, memukul-mukul papan tulis, bicaranya tidak jelas,
mondar-mandir, memberi siswa tanpa tujuan yang jelas dan pergi meninggalkan
kelas tanpa cas cis cus.
“Guru
apa itu?”, tanya Caciem.
“Guru
professional”, jawab Bento.
“Maksudku
guru mengajar pelajaran apa?”, tegas Caciem.
“Hampir
semua”, jelas Bento.
“Guru
profesional kok kayak gitu?”, kejar Caciem.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.